Header Ads

Sejarah Sampit Kalimantan Tengah




Sampit sebagai Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi kalimantan Tengah. Di samping karena secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis.

Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota Sampit terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi, posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.

Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam Bahasa Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut "Batang Danum Kupang Bulan" (Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.


Asal Nama Sampit

Hingga kini, yang masih menjadi perdebatan banyak orang adalah asal kata Sampit itu sendiri. Terdapat beberapa versi yang dikemukanan, diantaranya :

§  Kata Sampit berasal dari bahasa Cina yang berarti "31" (sam = 3, it = 1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Cina yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.
§  Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kata Sampit berkaitan dengan kondisi geografis daerah tersebut. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Pulau Hanaut yang notabene merupakan suatu pulau kecil di muara Sungai Mentaya. Karena berada pada area yang terkesan kecil/sempit maka penduduk dan juga pendatang yang mengunjungi daerah tersebut memberi nama daerah tersebut "Sampit".
§  Carl Lumholtz dalam bukunya yang berjudul "Through Central Borneo; an account of two years' travel in the land of the head-hunters between the years 1913 and 1917" menyebutkan bahwa penggunaan kata "Sampit" diambil dari nama sungai yang melintas di wilayah tersebut.


Sampit pada masa Kerajaan

Menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.

Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Cina, India bahkan Portugis.

Dokumen tertua yang menyebutkan "Sampit" adalah buku Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365) pada syair 13 yang berbunyi :


Ilwas lawan Samudra mwang i Lamuri Batan Lampung mwang Barus
Yekadhinyang watek bhumi Malayu satanah kapwamateh anut
Le tekang nusa Tanjungnagara ri Kapuas lawan ri Katingan
Sampit 
mwang Kuta Lingga mwang i Kuta Wawaringin Sambas mwang i Lawas

Pada masa Kerajaan Majapahit, Sampit disebutkan termasuk sebagai salah satu daerah yang disebut sebagai "nusantara" yang berkewajiban membayar upeti kepada raja Majapahit.

Bila ditelisik lebih jauh, Kerajaan Sungai Sampit ini usianya lebih tua dari Negara Dipa (abad ke-14), sehingga di buku Negarakertagama Kerajaan Banjar tidak tertulis. Terbukti pula, kala Putri Junjung Buih hendak dikawinkan dengan Pangeran suryanata, 40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Namun, mereka dapat ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal Kerajaan Banjar. Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di mana Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC.


Sampit pada masa kekuasaan Kerajaan Banjar

Pada tahun 1636 Sultan Banjar mengklaim Sampit sebagai "vazal" dari Kerajaan Banjarmasin. Hal ini berlangsung sampai dengan kedatangan Belanda ke Pulau Kalimantan. Sehubungan tidak adanya raja di Sampit, Sultan Banjar mengangkat seorang "Kyai" sebagai pemimpin.

Seiring dengan klaim Sampit sebagai vazal dari Kerajaan Banjar, Sultan juga berkeinginan memasukkan agama Islam ke Sampit seperti yang telah diterapkan di wilayah lain di Kalimantan Tengah. Hal ini sempat diperingatkan oleh ibunda Sultan, bahwa para ketua suku Dayak Ngaju di pedalaman yang masih memeluk agama leluhur itu masih ada kaitan keluarga dekat, sehingga penyebaran Islam dikhawatirkan malah akan memunculkan kekerasan dan perang saudara.

Dalam beberapa kasus, penyebaran agama Islam di Kalimantan Tengah, tanpa terkecuali di Sampit (Kotawaringin Timur), memang sempat menimbulkan ketegangan. Seperti yang dialami 
Sultan Mustain Billah (Marhum Panembahan) yang ditunding mengislamkan salah seorang isterinya Diang Lawai (Puteri Patih Rumbih) seorang suku Dayak Ngaju yang beragama Kaharingan, hal tersebut membangkitkan kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar selama 20 tahun.

Pada tahun 1780 Sampit dipimpin oleh Kyai Ingebai Sudi Ratu. (Moor, 1860). Jumlah penduduk Sampit pada waktu itu yang beragama Islam atau biasa disebut sebagai orang Melayu berjumlah sekitar 400 orang, sementara suku Dayak berjumlah ratusan orang.

Pada masa penguasaan Kerajaan Banjar ini, terjalin interaksi perdagangan dan pemerintahan yang rutin antara Sampit dengan Banjarmasin. Selain itu, tercatat jalinan perdagangan antara Sampit dengan pedagang-pedagang dari Makassar, Pulau Jawa, Eropa, dan China. Komoditas perdagangannya adalah emas, permata, hasil hutan dan kebun.


Sampit pada masa Kolonial Belanda

Setelah penyerahan kekuasaan Kerajaan Banjar pada Pemerintah Belanda pada tahun 1826 melalui Perjanjian Karang Intan I dan II, yang ditindaklanjuti dengan pengalihkuasaan wiiayah-wiiayah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar, termasuk Sampit, Mendawai, Pembuang, dan Kerajaan Kotawaringin, kemudian setelah berakhirnya kekuasaan otoritas pemerintahan Kerajaan Kotawaringin, Pemerintah Belanda merencanakan membuat pusat pemerintahan perwakilan pemerintah Belanda untuk wilayah Kerajaan Kotawaringin, Sampit, Pembuang, dan Mendawei. Daerah Sampit dipilih karena dianggap terletak di tengah-tengah dari keempat daerah tersebut.

Pada awalnya, Pemerintah Belanda yang berpusat di Banjarmasin tidak langsung membentuk sistem pemerintahannya, melainkan berusaha terlebih dahulu mengatur kegiatan perdagangan di wilayah ini. Pemerintah Belanda hanya menugaskan wakilnya yang disebut "Djuragans" untuk menarik upeti dari penduduk dan setiap kegiatan perdagangan di wilayah Sampit. Untuk kegiatan perdagangan, dibangun sebuah dermaga dengan dikepalai oleh syahbandar yang bertugas mengatur pelayaran dan menarik pajak dari setiap pengiriman barang (Pijnappel, 1860). Pada saat itu sudah berlangsung rute pelayaran yang teratur dengan tujuan Singapura, Cina, Eropa, Pulau Jawa, dan Banjarmasin.

Setelah kegiatan perdagangan sudah berhasil diatur, Pemerintah Belanda mulai mempersiapkan pembentukan sistem pemerintahan di bawah kendali langsung oleh Pemerintah Belanda untuk Afdeeling Sampit. Pusat pemerintahan sebelumnya yang berada di daerah Tampaga dirasakan terlalu jauh dari Laut Jawa sebagai akses dengan daerah luar. Oleh karena itu Pemerintah Belanda memilih lokasi baru untuk pusat pemerintahannya.

Lokasi baru yang dipilih adalah Kampung Talok Talaga (lokasi Kota Sampit sekarang ini) karena berada lebih ke arah hilir. Pada saat itu Kampung Talok Talaga merupakan tempat gudang garam. Sudah terdapat permukiman di lokasi ini, pada kedua sisi sungai meskipun belum banyak. Pemerintah Belanda secara bertahap memindahkan kegiatan pemerintahan dan perdagangan serta penduduknya pada lokasi yang baru ini.

Berdasarkan catatan Pijnappel (1860), pada tahun 1846 jumlah penduduk Kampung Talok Talaga sebesar 500 orang, terdiri dari 400 orang etnis melayu dan 100 orang etnis dayak, sedangkan jumlah penduduk Tampaga 1400 orang, yang terdiri dari 1.100 orang etnis melayu dan 300 orang etnis dayak. Jumlah penduduk kampung Tampaga lebih besar dari pada Talok Talaga dikarenakan kampung Tampaga yang sebelumnya merupakan pusat perdagangan, baru sedikit penduduk yang pindah ke tempat baru. Penduduk yang pindah ke Talok Talaga sebagian besar merupakan penduduk dengan profesi pedagang, baik etnis Melayu maupun Dayak. Etnis Dayak sebagian besar lebih memilih tetap di Kampung Tampaga karena sebagian besar mata pencaharian mereka adalah berladang dan mencari hasil hutan.

Etnis Tionghoa belum tercatat sebagai penduduk Sampit karena mereka belum menetap dan hanya melakukan kegiatan perdagangan. Setelah pembukaan perkebunan karet dan kelapa di Sampit, barulah terjadi migrasi penduduk etnis Tionghoa baik sebagai pengusaha, pedagang, atau pekerja perkebunan.

Untuk mendukung lokasi baru sebagai pusat kegiatan perdagangan, Pemerintah Belanda membangun sebuah dermaga kecil tempat bersandarnya kapal-kapal. Lokasi dermaga dipilih pada sisi sungai sebelah barat (lokasi Pelabuhan Sampit sekarang). Oleh karena itu, pemusatan kegiatan perdagangan dan konsentrasi penduduk terfokus pada sisi Sungai Mentaya sebelah barat.

Pada saat itu terjalin hubungan perdagangan dengan Singapura, Cina dan Eropa, melalui pedagang-pedagang Cina, Inggris, dan Belanda. Perdagangan dengan pulau Jawa melalui pedagang dari Jawa dan Madura, serta dengan Banjarmasin. Barang-barang perdagangan didatangkan dan didistribusikan ke kampung-kampung di sekitar Sungai Mentaya dan Sungai Katingan menggunakan perahu kecil.

Pada tahun 1898 Pemerintah Belanda mengeluarkan Staatblad tahun 1898 No. 178 yang mengatur pembentukan Afdeeling Sampit, dengan ibukota Sampit yang terdiri dari :

§  Distrik Sampit dengan Onderdistrik Tjampaga Mantaja Kwayan;
§  Distrik Mendawai dengan Onderdistrik Katingan Atas dan Samba;
§  Distrik Pembuang dengan Onderdistrik Sembulu dan Seruyan;
§  Kerajaan Kotawaringin (leenplichtig) landschap Koemai dan sebagain landschap Djelei.

Dari sinilah makna kata Sampit menyempit menjadi sebuah kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dari Afdeeling Sampit. Kampung Talok Talaga baralih nama menjadi Kota Sampit. Pemerintah Belanda mengangkat seorang Controleur sebagai kepala pemerintahan. Kantor controleur terletak di tepi Sungai Mentaya, dekat pelabuhan.

Pada tahun 1913, Afdeeling Sampit dirubah menjadi setingkat dengan onderafdeeling, masuk ke dalam wilayah administrasi Afdeeling Dajaklanden yang berkedudukan di Banjarmasin. Wilayah afdeeling Sampit dipecah menjadi dua, menjadi Onderafdeeling Sampit berkedudukan di Kota Sampit dan Onderafdeeling Kotawaringin berkedudukan di Kota Pangkalan Bun.

Dari catatan perjalanan Carl Lumholtz (1914), dikatakan bahwa banyak terjadi migrasi penduduk ke Kota Sampit yang berasal dari Banjarmasin untuk bekerja sebagai pegawai di perkebunan. Pedagang-pedagang Cina yang membuka usaha perkebunan mulai menetap dan bermukim di Kota Sampit. Mulai terjadi kedatangan warga etnis cina yang bekerja sebagai pekerja di perkebunan. Permukiman penduduk Kota Sampit terbentang memanjang di kedua tepi Sungai Mentaya, namun lebih terkonsentrasi di sebelah barat sungai.

Pada tahun 1938 dikeluarkan Staatblad no. 352 tentang pemerintahan Gouvernrment Borneo. Onderafdeeling Sampit dimasukkan ke dalam wilayah Afdeeling Kapuas Barito.


Sampit pada masa pendudukan Jepang

Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), Pemerintah Onder Afdelling Sampit dikepalai oleh Bunken Kanrikan dan Gunco dalam kekuasaan pemerintah Angkatan Laut Jepang, Borneo Minseibu, yang berpusat di Banjarmasin (sekarang Ibu Kota Kalimantan Selatan). Dalam perang Asia Timur Raya, Jepang menderita kekalahan dari tentara sekutu. Kesempatan baik itu dimanfaatkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaannya pada Jum’at pagi, 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Lantaran keterbatasan sarana komunikasi, berita kemerdekaan tersebut baru terdengar di Sampit dan wilayah Kalimantan lainnya, khususnya setelah kedatangan A.A. Hamidan dan A.A. Rivai di Banjarmasin, pada 24 Agustus 1945. Berita gembira itu kemudian disiarkan serta disebarluaskan melalui Radio Borneo Simbun di Banjarmasin dan Kandangan. Selain berita proklamasi, juga disiarkan pengangkatan Ir. Pangeran Muhammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan.

Sementara itu, di wilayah Samuda, pada 1 September 1945, pemerintah telah diambil alih oleh Panitia Aksi Kemerdekaan. Selanjutnya, dalam keadaan darurat dibentuklah Pemerintahan RI Wilayah Samuda dipimpin oleh Mohamad Baidawi Udan dengan wakilnya Ali Badrun Maslan. Peresmiannya sendiri dilakukan pada tanggal 8 Oktober 1945, dalam suatu upacara rapat umum disertai pengibaran bendera merah putih serta diiringi lagu Indonesia Raya dipimpin oleh Darham Ibul bertempat di muka pasar setempat.

Sejak 9 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia wilayah Samuda mulai bekerja. Mereka menempati sebuah kantor sederhana yaitu sebuah rumah yang diserahkan oleh penduduk setempat. Rumah yang dijadikan kantor Pemerintah republik Indonesia wilayah samuda itu terletak di Basirih Hilir, tak jauh dari sungai Jajangkit, Samuda.

Lain halnya di sampit, pemerintah Jepang masih bertahan hingga awal September 1945, sampai kemudian datang utusan pemerintahan Jepang dari Banjarmasin. Penyerahan secara resmi baru dilakukan dalam sebuah upacara di Lapangan Tugu, Sampit. Acara tersebut diikuti seluruh komponen masyarakat Kota Sampit seperti para Pegawai Negeri, Guru, Kepala Kampung, Tokoh Masyarakat, serta murid-murid sekolah. Bertindak mewakili pemerintah Jepang adalah Bunken Kanrikan Nomura Akira, yang menyerahkan pemerintahan Jepang kepada pemerintah RI wilayah Sampit. Saat itu, dilaksanakan upacara penurunan bendera Jepang dan dikibarkan bendera merah putih.

Awalnya pemerintahan Sampit sempat pula dikuasai pemerintahan Belanda/NICA. Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Melalui pergerakan bersenjata dalam pertempuran heroik yang dikenak dengan nama "Gerakan Operasi Subuh", yang dipimpin secara gabungan oleh Pemuda Indonesia Merdeka Sampit yakni Hasyim Djapar dari PIM/BPRI Sampit, Muhammad Baidawi Udan, Ali Badrun Maslan, TKR Samuda Usman H. Asan dan Majekur Maslan serta BPRI rombongan sembilan anak buah Bung Tomo, wilayah Sampit kembali direbut dari tangan musuh pada 29 Nopember 1945, tepatnya pada subuh pukul 04.00.

Setelah pengambilan kekuasaan pemerintah berhasil, maka pada tanggal 29 November 1945 pukul 07.00 pagi, Pemerintahan Republik Indonesia wilayah Sampit diresmikan dalam suatu upacara pengibaran bendera merah putih. Acara dihalaman kantor setempat itu berlangsung hikmad dan diiring lagu kebangsaan Indonesia Raya. Berikutnya, dilakukan rapat pembentukan susunan pemerintahan yang dipimpin oleh Hasyim Djapar dan akhirnya terpilih Abdul Hamid Hasan sebagai Kepala Pemerintahan Setembat (KPS).


Sampit setelah kemerdekaan RI

Hingga akhir 1949, Gubernur Kalimantan, Dr. Murdjani datang ke daerah Kotawaringin didampingi Mayor Tjilik Riwut dan lain-lain. Akhirnya, pada 1 Mei 1950, wilayah Kotawaringin telah diterima ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai daerah Swapraja Kotawaringin. Selanjutnya, pada 16 April 1950, beberapa pemuka Daerah Istimewa Swapraja Kotawaringin mengadakan rapat umum dan mengeluarkan mosi bahwa daerah istimewa tersebut masih tertekan. Karenanya, mereka meminta kepada Gubernur Kalimantan untuk menghapuskan Swapraja Kotawaringin dan mengubahnya menjadi daerah biasa supaya sama majunya dengan daerah Sampit.

Merespon tuntutan itu, pada 3 Agustus 1950, Gubernur Kalimantan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154/OPB/92/04 yang menyatakan bahwa Daerah Kotawaringin (Onder Afdelling Kotawaringin) disatukan dengan tiga kewedanan (Sampit Barat, Sampit Timur dan Sampit Utara) ke dalam wilayah Pemerintah daerah Otonom Kotawaringin dengan ibukotanya di Sampit.

Banyaknya desakan masyarakat dan mosi yang disampaikan ke Pemerintah RI sementara yang berkedudukan di Yogyakarta, maka diseluruh Daerah Provinsi Kalimantan Tengah telah disiapkan daerah-daerah otonom kabupaten dan daerah-daerah otonom setingkat dengan kabupaten.

Beberapa wilayah yang merupakan bentukan sementara menurut Keputusan Gubernur Kalimantan pada 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14 adalah mencakup Bandjar, Hulu Sungai Selatan, Kotawaringin, Barito, Kotabaru dan Kutai. Dalam perkembangan berikutnya, agar mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka dikeluarkan pula Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tanggal 7 Januari 1953 tentang pembentukan (resmi) daerah otonom kabupaten/daerah istimewa tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan, yakni Kabupaten Bandjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito, Kapuas, Kotawaringin (meliputi kewedanan-kewedanan Sampit Barat, Sampit Timur dan Sampit Utara dan Swapraja Kotawaringin), Kabupaten Kotabaru, Kota Besar Bandjarmasin, Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, Daerah Istimewa Kutai, Daerah Intimewa Berau dan Bulongan. Maka, sejak itulah secara resmi Pemerintahan Daerah Otonom Kabupaten Kotawaringin berkedudukan di Sampit di bawah Kepala Daerah Mayor Angkatan Udara Tjilik Riwut (1950-1957).





No comments

Powered by Blogger.